Liputankudus.id. Kudus — Teater Tutur Marjuki menghadirkan sebuah pementasan provokatif lewat karya terbaru bertajuk “P Info” dalam rangkaian Parade Teater Kost Pak Uger yang diselenggarakan oleh Teater Keset, 12 Desember 2025. Berlangsung di panggung proscenium, pertunjukan ini mengeksplorasi teater fragmentasi sebagai cara membaca realitas masyarakat hiperrealitas di era pasca-digital. Kolaborasi pelajar SMP 4 bersama komunitas umum ini menyoroti derasnya arus informasi, tiruan tanpa henti, serta identitas yang terus bergeser di ruang digital.
Menggabungkan fragmen dari naskah drama konvensional hingga kontemporer, P Info disusun sebagai kolase parodi tanpa alur linear. Para tokoh berganti identitas, suasana berubah tiba-tiba, dan panggung bertransformasi secara konstan. “Kami sengaja bikin semuanya tampak retak dan lompat-lompat,” ujar Umam, aktor sekaligus narator pementasan tersebut. “Soalnya begitulah dunia kami sekarang—apa pun bisa berubah dalam hitungan detik.”
Proscenium Sebagai Layar Simulasi
Dalam tangan Teater Tutur Marjuki, panggung proscenium disulap menjadi metafora ruang digital. Cahaya yang menyala-padam seperti notifikasi membuat pergerakan aktor menyerupai gestur karakter dalam feed media sosial.
“Kami ingin penonton merasa seperti sedang menggulir layar,” jelas Umam. “Kadang ada yang muncul tiba-tiba, kadang hilang tanpa penjelasan. Sama seperti informasi yang kita konsumsi: cepat, dangkal, dan sering tidak jelas sumbernya.”
Pendekatan visual ini membuat penonton melihat panggung bukan sekadar ruang fisik, melainkan layar simulasi yang memantulkan fragmen-fragmen kehidupan digital sehari-hari.
Fragmentasi sebagai Cara Membaca Zaman
Fragmen-fragmen dalam P Info diproses dari materi interpretasi naskah pada program FTP sebelumnya. Teater Tutur Marjuki mengolah tragedi klasik menjadi meme panggung, realisme menjadi satire tentang online persona, dan absurditas Beckettian menjadi percakapan ala Gen Z.
“Fragmentasi itu cara kami memahami sesuatu,” tutur Umam. “Kami tumbuh dengan potongan video, potongan berita, potongan hidup orang lain di media sosial. Jadi ketika bikin teater, bentuknya ya seperti itu: pecah tapi tetap nyambung.”
Hasilnya adalah pementasan yang bergerak cepat, ritmis, namun sengaja tidak pernah benar-benar tuntas—mewakili dunia pasca-digital yang selalu retak dan tak pernah utuh.
Parodi sebagai Kritik Hiperrealitas
Sejumlah adegan menonjol sebagai kritik hiperrealitas. Salah satunya adalah perebutan “siapa paling valid”, ketika para aktor berlomba-lomba mengklaim kebenaran berdasarkan jumlah likes dan shares.
“Di sekolah pun kami lihat kecenderungan orang percaya sesuatu karena viral, bukan karena benar,” kata Umam. “Jadi kami bikin parodinya di panggung.”
Ada pula adegan tragedi yang diulang berkali-kali dengan filter berbeda, menyinggung bagaimana kesedihan kini menjadi komoditas visual. Selain itu, seorang aktor tampil sebagai lima karakter dalam lima menit sebagai sindiran atas identitas digital yang cair dan mudah dipertukarkan.
“Parodi itu buat ketawa, tapi sebenarnya pahit,” lanjutnya.
Suara Pelajar dalam Membaca Realitas
Sebagai narator, Umam menutup pementasan dengan refleksi tentang paradoks kehidupan pasca-digital. Menurutnya, generasi pelajar tumbuh di dunia tanpa batas-batas realitas yang jelas, hidup di antara citra dan simulasi.
“Kami bukan mau sok kritis,” ujarnya. “Kami cuma menunjukkan apa yang kami lihat tiap hari. Kadang dunia terlalu cepat, terlalu bising, terlalu plastik. Kalau teater bisa bikin orang berhenti sebentar dan mikir, itu sudah cukup buat kami.”
Menawarkan Ruang Jeda di Tengah Kekacauan Digital
Melalui P Info, Teater Tutur Marjuki memanfaatkan keberantakan peristiwa untuk memecah struktur, menabrakkan genre, dan merangkai parodi menjadi cermin hiperrealitas. Di era ketika informasi tak lagi menjadi jendela menuju dunia, tetapi labirin yang memantulkan wajah kita sendiri, pementasan ini memberi ruang jeda bagi penonton untuk bertanya: apa yang sebenarnya kita lihat hari ini?
“Di tengah kekacauan digital, teater justru terasa paling jujur,” tutup Umam. “Karena di sini, kami tidak menyembunyikan apa pun.”




