Liputankudus.id. Kudus. Teater Minatani kembali menunjukkan konsistensinya dalam mengembangkan teater partisipatif melalui produksi ke-17 mereka, MARTIR (Resistensi Tiada Akhir). Meski fasilitas semakin terbatas, semangat anggota komunitas justru semakin menyala. Hal itu ditegaskan oleh Pimpro Arif Khilwa dalam unggahan media sosialnya yang menyebut keberanian mereka sebagai “bara kecil yang menolak padam.”
Pertunjukan yang digelar di Universitas Muria Kudus ini memadukan gagasan Theatre of the Oppressed dengan puitika rakyat yang dialogis. Rangkaian fragmen yang dihadirkan mengangkat tema feminisme, representasi tokoh sejarah, serta dinamika kekuasaan di era digital.
Yudi Dodok, Siwigustin, dan Sinta disebut tetap teguh memegang idealisme. “Di tengah zaman ketika kebenaran dianggap barang rongsokan dan sikap kritis tak laku di pasar kenyamanan, mereka menolak bungkam,” tulis Arif.
Salah satu fragmen menampilkan Roro Mendut sebagai simbol perlawanan kontemporer. Adegan dihentikan ketika konflik memuncak, dan penonton diundang untuk mengintervensi jalannya cerita. Format ini menciptakan forum kolektif yang memberi ruang resepsi, kritik, serta pembelajaran sosial.
Pementasan ini menyoroti budaya doomscrolling yang disebut sebagai bentuk katarsis pasif baru, sekaligus memberi otokritik terhadap masyarakat digital yang lebih sering meredakan kecemasan ketimbang bertindak. Melalui tindakan sederhana—menuliskan komitmen kecil di akhir acara—penonton diajak menjadikan seni sebagai bagian dari transformasi sosial.
Dari perisitiwa itu kita bisa melihat seni bukan urusan kejeniusan individu, melainkan praktik kolektif yang menggerakkan warga. Pertunjukan MARTIR menjadi bukti bahwa teater tetap dapat berperan sebagai ruang resistensi sekaligus advokasi, bahkan di tengah keterbatasan.




