Liputankudus.id. Kudus - Etiket kaku yang melingkupi kehidupan kaum aristokrat disajikan dalam sebuah pertunjukan teater Dejavu SMK Taman Siswa Kudus. Dian Puspita Sari, sebagai penggarap pementasan ini, mengungkapkan bahwa etiket tersebut bukan sekadar sopan santun, melainkan sebuah "sistem kontrol fisik yang telah mengakar sejak masa kanak-kanak."
Pertunjukan ini merupakan adaptasi dari naskah berjudul "Argumentasi Sisi" yang ditulis oleh Dicky Soemarno. Melalui lensa dramaturgi, Dian Puspita Sari dan timnya berupaya membongkar biaya psikologis yang ditimbulkan oleh norma-norma sosial yang sangat kaku.
"Kami ingin menunjukkan bahwa etiket hari ini jauh melampaui tata krama, tidak bertemu dengan zamannya. Sebuah disiplin yang menuntut internalisasi fisik secara total," jelas Dian Puspita Sari saat ditemui usai pementasan. (11/14/2025)
Dian menjelaskan bahwa naskah Argumentasi Sisi memungkinkan eksplorasi tentang bagaimana "aturan tubuh" ditanamkan pada anggota keluarga bangsawan sejak dini.
"Sejak kecil, tubuh mereka dilatih untuk mematuhi postur yang kaku, senyum yang sopan, dan gerakan yang terukur, mirip dengan disiplin dalam balet. Ini bukan pilihan moral, ini adalah bentuk kontrol fisik yang menjadikan tubuh sebagai alat kepatuhan," imbuhnya.
Puncak konflik dalam pertunjukan terlihat pada mikro-gestur, seperti bahu yang menegang atau tangan yang mengepal. Gerakan kecil ini menjadi bahasa semiotik yang mengungkapkan "psikologi gelap" para tokoh dengan ambisi tersembunyi, ketakutan, dan dilema moral—yang tidak diizinkan diungkapkan secara verbal.
Realisasi menyakitkan bahwa tubuh mereka telah dipersenjatai melawan kebebasan pribadinya sendiri. Dengan mengangkat Argumentasi Sisi, kami berharap penonton dapat melihat kenyataan masyarakat yang sering terjebak dalam lingkaran setan tragedi, di mana kekuasaan tertinggi menuntut represi diri tertinggi," kata Dian.
Lebih jauh, pementasan ini juga secara eksplisit berfungsi sebagai otokritik terhadap praktik media kontemporer, khususnya sinetron populer. Dian menilai drama televisi atau konten digital seringkali menyederhanakan konflik aristokratik menjadi melodrama instan.
"Sinetron umumnya menawarkan hiburan cepat, fokus pada plot yang kilat, dan emosi yang mudah dicerna. Representasi aristokrasi di sana sering terbatas pada pajangan kemewahan tanpa mengeksplorasi paradoks moralnya," kritik Dian.
Sebaliknya, pementasan teater ini menuntut pendekatan yang berbeda. Dengan menggunakan bingkai panggung proscenium yang kaku, Dian bertujuan menciptakan representasi cara memandang kita atas tafsir di atas panggung, memaksa penonton untuk menjadi analis kritis.
" Kami menggunakan kekakuan bentuk ini untuk 'menahan' realitas agar dapat dianalisis secara kritis, alih-alih membiarkannya disederhanakan dan menjadi 'pelarian' emosional seperti sinetron," tutup Dian.




