Liputankudus.id. Kudus – Karya dramawan legendaris Indonesia, Arifin C. Noer, kembali menghantam kesadaran kolektif dalam era disrupsi digital. Pementasan "Tengul" oleh Teater Tigakoma, di bawah arahan sutradara Afif Khoirudin Sanjaya (yang akrab disapa Apop), melakukan autopsi terhadap moralitas dan fragmentasi sosial Indonesia kontemporer.
Pertunjukan ini seperti sebuah proyeksi dalam "panggung absurd" hari ini, yang menurut pengamat teater kini telah bermigrasi ke linimasa digital. Arifin C. Noer dikenal karena menyajikan tokoh-tokoh yang "terbentur sistem," individu yang mendambakan hidup layak namun tak diberi ruang. Tokoh Tengul, seorang pelawak miskin dari pinggiran, mewakili pencarian makna yang tak pernah usai.
Dalam analisis atas pementasan tersebut, absurditas sejati yang dihadirkan Arifin dipandang bukan sebagai nihilisme, melainkan negosiasi abadi antara idealitas moral dan tuntutan untuk bertahan hidup.
"Eksistensi manusia bukan hanya tentang hidup dan mati, tetapi tentang apa yang tersisa dari kita ketika segalanya terasa tak masuk akal," demikian gambaran terhadap karya Arifin C. Noer.
Keputusan artistik sutradara Apop dalam pementasan ini terbilang provokatif. Penggunaan ruang tapal kuda memposisikan penonton untuk saling menatap, mengukur, dan menghakimi, secara efektif memutus keakraban panggung konvensional. Tengul, yang mestinya hanya hiburan, diubah menjadi pengadilan moral yang menguji audiens.
Dalam sesi diskusi pasca-pertunjukan pada 16 November 2025, Apop menjelaskan visinya di tengah tantangan teater kontemporer. "Harapannya ini menjadi semacam wacana dan dialog berkesenian, kejelasan dan kejujuran atas apa yang hendak kita sampaikan, meskipun dalam pergerakan teater modern yang konseptual dan eksperimental cenderung terjebak kehilangan narasinya," ungkapnya, menanggapi pertanyaan penonton mengenai fragmentasi gagasan post dalam pementasan.
"Tengul" versi Teater Tigakoma menyiratkan kritik terhadap budaya kemiskinan yang seringkali dibiarkan hidup karena menyediakan hiburan murah bagi kelompok mampu.
"Inti kritiknya, yang dipertajam barangkali pada pertanyaan, Mengapa kita menertawakan Tengul? Apakah karena ia lucu, atau karena kita membutuhkan rasa aman dengan melihat ada yang lebih menderita dari diri kita?" ujar Rais, seorang penonton.
Di atas panggung tapal kuda, tawa yang terdengar bukanlah tawa hangat, melainkan "tawa yang menilai." Penonton seolah "mengurung" Tengul, dan setiap tawa bertransformasi menjadi vonis moral. Hal ini menimbulkan refleksi bahwa yang lucu sesungguhnya bukanlah Tengul, melainkan budaya yang menghasilkan sosok terfragmentasi seperti dirinya.
Seorang pengamat teater mencatat, "Tokohnya menipu, melawan, bahkan mengejek nasibnya. Bukan karena ia buruk, tetapi karena nilai luhur tidak selalu kompatibel dengan kemiskinan." Ini menegaskan bahwa moralitas dalam konteks Indonesia telah "turun ke dapur, ke jalan, ke pasar," menjadi sesuatu yang fungsional alih-alih ideal.
Pelaku seni, Dian Puspita Sari, mengapresiasi konsepsi ini. "Kita diajak menjadi pengamat peristiwa dalam panggung, untuk melihat para aktor yang bermain dan bergulat dengan kegelisahannya... kita dituntut oleh zaman yang serba cepet agar bisa melihat peristiwa lebih objektif," tuturnya.
Pementasan "Tengul" Teater Tigakoma ditutup dengan meninggalkan sebuah panggilan keras: Apakah kita benar-benar peduli pada Tengul, atau hanya peduli agar lukanya tetap menghibur kita? Ini menjadi seruan bagi audiens untuk meninjau kontradiksi antara idealisme dan realitas yang terus dimainkan di panggung kehidupan sehari-hari.




