• Jelajahi

    Copyright © LIPUTAN KUDUS
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menu Bawah

    Drama Musical HipDut Teater Pace Adaptasi Titik atau Koma

    LIPUTAN KUDUS 2
    11/05/25, 01:27 WIB Last Updated 2025-11-04T18:28:57Z




    Liputankudus.id. Kudus, 4 November 2025 – Di tengah tantangan remaja dalam mengelola masalah diri (konflik internal) dan masalah dengan lingkungan (konflik eksternal), seni teater sebagai solusi praktis. Teater, yang sudah lama dikenal sebagai medium kritik, otokritik sosial di Indonesia, kini berperan penting sebagai alat pendidikan karakter, terutama bagi para pelajar.



    Hal ini dieksplorasi dalam pementasan Teater Pace Esemku, kelompok teater pelajar dari SMP 4 Kudus, yang tampil dalam ajang Festival Teater Pelajar (FTP) 2025 yang diselenggarakan oleh Djarum Foundation . Bagi para siswa di sekolah tersebut, kelompok teater ini menempempaktanya sebagai ruang berekspresi, juga ruang untuk berdialog serta mengembangkan gagasan siswa.


    Kepala Sekolah SMP 4 Kudus, Dedi Triaprianto, S.Pd., M.Pd., saat memberikan sambutan, mengatakan bahwa teater adalah cara untuk melihat kecerdasan anak dari sisi lain.


    “Kami berprinsip bahwa setiap anak adalah insan yang cerdas sesuai dengan potensinya. Dalam hal ini, yakni olah tubuh dan gerak, seni peran dan sebagainya,” ujar Dedi Triaprianto (04/11/2025).


    Pendidik dan penggarap Teater Pace Esemku, Isa Ayu L, menjelaskan bahwa pementasan kali ini menggunakan pendekatan drama musikal, sebuah formula baru yang memicu antusiasme murid.



    “Selain berteater untuk menghayati pemeranan dan menemukan potensi konflik, kami juga mencoba formula baru dengan pemilihan bentuk musikal,” ungkap Isa Ayu L.


    Pemilihan drama musikal yang memadukan akting, musik, dan gerak ini didukung karena memiliki daya tarik visual dan suara, sejalan dengan model Joyful Learning (pembelajaran yang menggembirakan). Model ini bertumpu pada tiga pilar utama, Kebermaknaan: Materi baru terhubung dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, memastikan pemahaman meningkat. Penguatan: Tantangan ringan yang memicu semangat, menumbuhkan kecintaan terhadap seni, dan didukung dengan latihan berulang. Umpan Balik: Interaksi langsung saat latihan dan sesi forum memungkinkan guru memberikan koreksi cepat, sehingga pembelajaran berjalan efektif.


    Dalam pementasannya, Teater Pace Esemku mengadaptasi naskah Titik atau Koma karya Noko Mores. Adaptasi ini merupaka langkah responsif terhadap budaya populer anak muda saat ini. Mrespons benturan budaya antara genre dangdut dan hiphop dalam pertunjukan musikal mereka.


    Teater, menurut Isa Ayu L, berfungsi sebagai cerminan diri. Siswa diajak untuk melihat masalah atau konflik dalam naskah, kemudian mencari solusinya dengan mempertimbangkan etika dan moral.


    “Siswa diajak bertemu dengan dirinya di ruang panggung… kemudian diajak berdialog dengan etika dan moral dalam naskah, yang kemudian dikemas dalam pertunjukan musikal,” imbuhnya.


    Dengan menempatkan masalah dalam konteks budaya yang disukai siswa (drama musikal dangdut dan hiphop), diharapkan siswa menjadi lebih sadar dan mawas diri terhadap objek budaya yang mereka gemari tanpa melupakan pesan moral dalam drama yang dimainkan.


    Pada dasarnya, teater adalah panggung realitas yang terstruktur, semacam tempat latihan menghadapi krisis. Ia mengajarkan siswa untuk mencari solusi konflik melalui dialog dan tindakan. Di Indonesia, teater modern selalu berhubungan erat dengan kondisi sosial budaya. Fungsi kritik sosial teater bukanlah hal baru, menegaskan bahwa seni ini harus terus bergerak, adaptif, dan responsif terhadap dinamika masyarakat.


    Iza, salah seorang pemerhati kesenian teater, membandingkannya dengan kesenian modern dan tradisional Jawa Tengah hingga pertunjukan klasik opera. Dalam Ketoprak, pertentangan antara tokoh jahat (antagonis) dan tokoh baik (protagonis) sangat mengandalkan kemampuan pemain untuk membangun konflik dalam gerak gesture maupun tembang. Hal ini menunjukkan bahwa teater (baik klasik, modern maupun tradisional) telah lama menjadi medium untuk melihat dan memecahkan konflik.


    Mengambil contoh dari Jepang, di mana teater juga digunakan dalam pendidikan, seni ini terbukti mampu mengajarkan konsep sosial budaya mendasar seperti Uchi-Soto (konsep kelompok dalam dan luar) dan tata krama berbahasa. Dengan segala fungsinya, teater membuktikan bahwa perannya tidak sebatas simulasi artistik, tetapi juga sebagai medium langsung untuk menanamkan pemahaman normatif dan etika sosial yang kompleks.


    ” Dialektika tubuh dan suara di atas panggung menjadi metafora bagi pergulatan manusia dalam menyelaraskan kata, tindakan, dan emosi yang terpendam. Dimana menunjukkan bahwa melalui eksplorasi seni, remaja dapat diajak untuk peka terhadap lingkungan, yang merupakan syarat dasar untuk mencegah terjadinya konflik.” tutup Iza.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Tag Terpopuler